PENELITIAN ANALISIS KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
IDE DAN KONSEP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN OLEH PEMERINTAH
(Potret Kebijakan dan Implementasi Pemberdayaan Perempuan di
Indonesia)
Peneliti dan Penulis:
Dini Anitasari Sabaniah
Melly Setyawati
Editor/Penyelaras:
Sri Wiyanti Eddyono
Penelitian Pemberdayaan Perempuan dalam Konteks Muslim : Gender, Kemiskinan dan Demokratisasi dari Dalam ke Luar
Semarak Cerlang Nusa – Consultancy, Research and Education for Transformation
Maret 2009
...
ABSTRAK
Penelitian Analisis Kebijakan Pemberdayaan Perempuan
Ide dan Konsep Pemberdayaan Perempuan oleh Pemerintah
(Potret kebijakan dan implementasi pemberdayaan perempuan di Indonesia)
Tulisan ini dibuat untuk memaparkan konsep pemberdayaan perempuan yang digunakan oleh pemerintah baik di tingkat Pusat/Nasional Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP) maupun di tingkat Daerah (Provinsi DI Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Gunungkidul, Provinsi Sumatera Barat, Kabupaten Pariaman, Kota Pariaman) dan bagaimana konsep tersebut diimplementasikan ke dalam kebijakan, selanjutnya bagaimana kebijakan tersebut dipraktekkan di masyarakat khususnya perempuan. Diakhir program penelitian WEMC ada rekomendasi perbaikan kebijakan pemberdayaan perempuan yang ditujukan kepada masing-masing pemerintahan tersebut.
Penelitian ini dilakukan berangkat dari refleksi terhadap temuan penelitian yang telah dilakukan dalam kurun waktu 2,5 tahun sejak bulan Juli 2006 – November 2008. Hasil temuan secara umum bahwa konsep pemberdayaan dan pemberdayaan perempuan dipahami berbeda oleh aparat pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah tempat penelitian. Pemahaman mereka tentang pemberdayaan dan pemberdayaan perempuan ternyata berbeda dengan ‘empowerment’ yang selama ini dianggap sebanding dengan istilah ‘pemberdayaan’. Bedanya adalah pemahaman terhadap istilah ‘pemberdayaan’ pada umumnya tidak dikaitkan dengan unsur ‘kekuasaan’ atau fenomena adanya ‘relasi kekuasaan yang timpang antara perempuan dan lak-laki’, tetapi dipahami sebagai sebuah upaya meningkatnya akses perempuan terhadap berbagai sumberdaya (ekonomi, politik, social, bidaya, dll) dan meningkatnya kemampuan perempuan di berbagai bidang (pendidikan, keterampilan, dll). Sedangkan ‘empowerment’ dari kata ‘empower’ artinya member kuasa, atau makna yang dipahami dalam kerangka penelitian WEMC (2006) adalah peningkatan kapasitas untuk membuat kemutusan mandiri yang mengubah hubungan kekuasaan-kekuasaan yang tidak dikehendaki.
Pemahaman terhadap ‘pemberdayaan’ dan ‘pemberdayaan perempuan’ semacam itu berdampak pada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Kami mencatat sejak masa orde baru tepatnya tahun 1978 sampai tahun 1998 telah banyak dokumen resmi Negara dan kebijakan Negara yang menyatakan: 1) Pentingnya peran atau keterlibatan perempuan dalam pembangunan; dan 2) Pentingkan meningkatkan kapasitas perempuan di berbagai bidang. Baru pada tahun 1999 masa pemerintah reformasi isu ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dipahami sebagai salah satu hambatan proses pembangunan dan istilah ‘pemberdayaan perempuan’ muncul. Namun kenyataan adanya fakta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender sepertinya dipahami setengah hati, artinya analisis pemerintah terhadap keadaan tersebut adalah dikarenakan rendahnya kapasitas perempuan, seperti yang selalu disampaikan oleh aparat pemerintah dalam setiap kesempatan wawancara. Mereka belum melihat dan mengakui (atau mungkin enggan melihat dan enggan mengakui) ada satu hal lain yang cukup penting yaitu kenyataan adanya relasi kekuasan yang timpang antara perempuan dan lak-laki di segala bidang.
Pemahaman ‘setengah hati’ tersebut tentu berdampak pada implementasi kebijakan atau programprogram pemberdayaan perempuan di tingkat yang paling rendah yaitu di komunitas tingkat desa.
Pertama, program pemberdayaan perempuan yang dicanangkan oleh pemerintah tidak didasarkan pada kebutuhan perempuan sungguh, pengalaman mengikuti pertemuan Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) 1 oleh peneliti dan narasumber membuktikan hal itu. Musrenbangdes sebagai satu-satunya forum pemerintah di tingkat terendah yang menetapkan kegiatan prioritas sesuai kebutuhan masyarakat sebagai bahan awal pemerintah di tingkat Nasional (Bappenas) merancang pembangunan sulit diakses oleh perempuan. Hampir setiap tahun ketika rapat ini diselenggarakan tidak pernah ada kelompok perempuan yang diundang hadir, aparat desa biasanya mengundang kepala keluarga yang sudah tentu para suami atau lak-laki. Jika pun ada perempuan, bisanya diwakili oleh pengurus PKK, dan tidak ada persiapan khusus untuk itu, sehingga keberadaan perempuan disitu hanya sebagai pelengkap ‘asal ada perempuan’.
Kedua, program pemberdayaan perempuan pada umumnya hanya terfokus pada akses perempauan terhadap sumberdaya tertentu dan peningkatan kapasitas perempuan terhadap keterampilan tertentu. Untuk program pemberdayaan perempuan terkait dengan peningkatan keterampilan misalnya, keterampilan yang biasanya dikhususkan bagi perempuan adalah keterampilan yang berhubungan dengan peran perempuan dalam keluarga atau peran domestic dengan maksud supaya perempuan memiliki keterampilan yang lebih baik dalam bidang pengasuhan keluarga, bukan dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi perempuan sebagai individu supaya mandiri dan dapat membuat keputusan mandiri yang mengubah relasi kekuasaan yang timpang baik yang terjadi dalam lingkup rumah tangga maupun dalam lingkup masyarakat sekitar.
Ketiga, terkait dengan akses misalnya, menurut catatan kami masih ada program-program pemberdayaan masyarakat yang sulit diakses oleh perempuan, seperti yang terjadi di desa Purwodadi kecamatan Tepus kabupaten Gunungkidul, untuk program peningkatan ekonomi berupa pinjaman uang atau pinjaman ternak secara bergulir kecenderungannya hanya diperuntukkan untuk para kepala keluarga yang notabene lak-laki.
Keempat, untuk program pemberdayaan perempuan yang dikhususkan bagi perempuan, pada kenyataannya tidak semua perempuan dapat mengakses program tersebut. Kecenderungan yang terjadi adalah perempuan dari golongan tertentu saja yang dapat menikmati. Kelompok PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) sebagai satu-satunya kelompok perempuan di desa yang dianggap memiliki kepengurusan jelas dari mulai tingkat desa sampai nasional adalah satu-satunya organisasi perempuan yang selalu dipercaya untuk mengelola program ini. Namun, pada kenyataannya tidak semua perempuan di desa menjadi pengurus, anggota atau kader PKK, seperti yang diungkapkan oleh narasumber bahwa program pemberdayaan perempuan yang masuk ke desa biasanya hanya dapat dinikmati oleh perempuan tertentu, yang diistilahkan oleh mereka ‘perempuan yang dekat dengan pemerintahan desa’. Perempuan lain yang ‘tidak dekat dengan pemerintahan desa’ atau diistilahkan oleh mereka ‘perempuan biasa’ sudah hampir dapat dipastikan tidak dapat atau jarang menikmati program-program tersebut. Informasi lain yang kami temukan terkait dengan fenomena ini adalah dikarenakan sulitnya ‘perempuan biasa’ diajak untuk terlibat dalam program pemberdayaan perempuan. Meskipun demikian seharusnya ada tindakan khusus oleh pemerintah untuk mendorong kelompok perempuan seperti ini dapat mengakses dan menikmati program pemberdayaan perempuan atau ada tindakan afirmasi (affirmative action) bagi kelompok perempuan yang dianggap sulit diajak terlibat ini. Namun kenyataannya baik pemerintah desa maupun kabupaten jarang atau tidak pernah melakukan tindakan khusus semacam ini, terkesan kepentingan mereka hanya program pemberdayaan perempuan ini selesai dilaksanakan dan ada laporan pelaksanaan kegiatan yang dianggap sebagai alat pertanggungjawaban penggunaan keuangan Negara, tanpa harus susah-susah melalui proses afirmasi (affirmative action) bagi perempuan tertentu ini. Pada akhirnya, pelanggengan atau pelestarian tindakan-tindakan tersebut di atas berakibat pada tidak berubahnya posisi dan kedudukan perempuan yang sampai saat ini masih rentan menjadi kelompok masyarakat yang tersubordinasi2 dan termarjinalisasi
...
DAFTAR ISI
ABSTRAK
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Permasalahan Penelitian
Metodologi Penelitian
Narasumber
Proses Penelitian
Keterbatasan Penelitian
BAB II. WACANA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM KEBIJAKAN NEGARA INDONESIA
(Hilangnya ‘relasi kekuasaan’ sebagai elemen penting dalam pemberdayaan perempuan)
Sejarah Penggunaan istilah ‘Pemberdayaan Perempuan’ dalam Wacana Pemerintah dan
Kebijakan Negara
Kebijakan-kebijakan yang Memuat Pemberdayaan Perempuan
A. Mainstream dan Spesifik
Bidang Pendidikan
Bidang Kesehatan
Bidang Politik
Bidang Ekonomi
B. Struktur dan Progam Pemberdayaan Perempuan
BAB III. DINAMIKA PANDANGAN DAN PERSEPSI TERHADAP KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
Perbandingan Pandangan Aparat Pemerintah tentang Pemberdayaan Perempuan
Struktur Negara di Tingkat Nasional dan Lokal Terkait dengan Implementasi Kebijakan Pemberdayaan
Perempuan
BAB IV. PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SEBAGAI ISU STRATEGIS
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI