• Rapat Koordinasi JRMK (Jaringan Rakyat Miskin Kota) Jakarta
    Rapat Koordinasi JRMK (Jaringan Rakyat Miskin Kota) Jakarta

    November, 2015

  • Seminar Hasil Penelitian SCN CREST - UNRISD
    Seminar Hasil Penelitian SCN CREST - UNRISD
  • Lokalatih Pengintegrasian Perspektif Gender dalam Kelembagaan dan Program
    Lokalatih Pengintegrasian Perspektif Gender dalam Kelembagaan dan Program
  • Penguatan Pekerja Rumahan dan Organisasi Pekerja Rumahan untuk Advokasi Kerja Layak
    Penguatan Pekerja Rumahan dan Organisasi Pekerja Rumahan untuk Advokasi Kerja Layak
  • Renstra SCN-CREST, Juni 2016
    Renstra SCN-CREST, Juni 2016

Search SCN-CREST Publication

Sunday, 09 February 2014 18:50

Tantangan feminis dalam membangun aliansi dengan gerakan perempuan dan gerakan sosial lainnya di Indonesia

WEMC-Indonesia per 25 Maret 2010

WORKING PAPER

Tantangan feminis dalam membangun aliansi dengan gerakan perempuan dan gerakan sosial lainnya di Indonesia

 

Sri Wiyanti Eddyono

 

Abstraksi

Tulisan ini mengelaborasi tentang posisi gerakan feminis di tengah gerakan sosial di Indonesia pada pasca Orde Baru. Gerakan feminis diakui sebagai gerakan yang relatif berhasil mendorong terjadinya perubahan kebijakan di Indonesia terkait dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Keberhasilan itu terjadi akibat adanya kolaborasi antara gerakan feminis, gerakan perempuan yang lebih luas dan gerakan sosial lainnya. Namun, di sisi lain, tulisan ini menganalisa bahwa kolaborasi yang terjadi adalah rentan dan tidak senantiasa berlanjut karena berbagai tantangan baik di tingkat internal di gerakan feminis maupun di tingkat eksternal.

 

Daftar Isi

Abstraksi

I. Pendahuluan

II. Gerakan Feminis di Indonesia

III. Kolaborasi Pasang Surut antara Gerakan Feminis, Gerakan Perempuan dan Gerakan Sosial

IV. Gerakan sosial yang bertumbuh dan mencari bentuk kolaborasi; sebuah Tantangan

V. Kesimpulan

 

...

 

VI. Kesimpulan

 

Pengakuan terhadap kekuatan gerakan perempuan secara terbuka dan diam-diam dilakukan oleh gerakan sosial lainnya. Pengakuan itu melihat kesuksesan dan kesoliditasan kelompok perempuan sehingga menghasilkan perubahan; tidak saja dalam cara pandang masyarakat terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan dalam level Negara, ataupun dalam konteks keberhasilan menggolkan quota 30 persen dan mendudukkan dan menyokong calon-calon perempuan.

Di sisi lain, keberhasilan tersebut menimbulkan tantangan baru.

Pertama, kekuatan gerakan perempuan dianggap menakutkan kelompok status quo sehingga mencari jalan untuk kembali mengontrol perempuan, mengembalikan perempuan kepada posisi semula termasuk upaya-upaya redomestifikasi lewat berbagai cara.

Seiring dengan terbukanya peluang untuk aktif di publik dan terlindungi di domestik—di sisi lain, gerakan untuk mengontrol perempuan muncul di berbagai daerah dengan menggunakan agama dan moral sebagai legitimasi. Adanya perda-perda yang bernuansa moral dan agama yang mengontrol perempuan menjadi salah satu indikator; disamping upaya-upaya untuk semakin mentrendkan poligami dan membuat poligami secara terbuka. 54 Disamping itu keberadaan UU Pornografi adalah sebagai salah satu manuver untuk memasukkan nilai-nilai agama ke dalam hukum di tingkat nasional dimana perempuan korban diabaikan dan bahkan dikriminalisasi.

Kedua, upaya menggoyah kekuatan gerakan perempuan membuat perempuan saling berkonfrontasi dan menjadi terpecah belah dengan menggunakan isu moral dan agama. Adanya perda-perda di berbagai daerah yang semakin bertambah menunjukkan kecenderungan gerakan perempuan terbelah; antara perempuan yang meletakkan

HAM sebagai perspektif dan perempuan yang mengacu pada moral dan agama. Stigma-stigma perempuan yang tidak bermoral dan tidak agamis dilekatkan pada aktivis dan kelompok perempuan yang menentang pemberlakuan jilbab atau pengaturan tentang perbuatan maksiat.

Hal ini semakin menguat dengan adanya UU Pornografi yang memecah perempuan yang awalnya telah cukup solid. Dalam perdebatan pengesahan UU Pornografi; meski secara keseluruhan kelompok perempuan mendukung upaya penghapusan pornografi tapi pendekatan yang dipakai sangat tajam perbedaannya. Cara-cara yang dipakai para politisasi islam misalnya menggolongkan mereka yang menolak UU Pornografi sebagai pihak yang Pro Pornografi.

Ketiga, persoalan kepentingan perempuan yang berbeda akibat latar belakang kelas (status sosial), dan akibat pengaruh politisasi islam.

Hal ini sangat terlihat pada isu-isu yang terkait dengan bidang ketenagakerjaan; buruh pabrik. Meskipun secara nilai; semua orang bisa jadi sepakat setiap perempuan yang bekerja harus mendapatkan perlindungan dan dihargai sebagai manusia sehingga tidak boleh diperlakukan semena-mena, pada kenyataannya isu ini isu yang tidak bergerak sangat luas. Isu ini baru dikumandangkan oleh sedikit kelompok yang memiliki masalah belum banyak menyebrang ke kelompok yang diluar mereka (meski dari perspektif aktivis buruh hal ini sudah mengalami kemajuan ketimbang situasi sebelumnya). Hal ini antara lain karena persoalan ini tidak dirasakan sebagai persoalan bagi kelompok lainnya. Hal ini pula yang disebut oleh Fakih sebagai bias elit.

Tantangan Gerakan Feminis yang terbesar dalam melakukan kolaborasi dengan gerakan sosial lainnya ada dua hal; Pertama, tantangan internal yakni memposisikan ulang visi dan nilai-nilai feminis, yang diejawantahkan dalam program, termasuk melakukan reposisi relasinya dengan gerakan perempuan mainstream, gerakan sosial lainnya dan kekuatan funding. Metode kerja dan pengelolaan kerja tidak bisa dihindari dapat menjadikan visi dan misi yang sudah jelas malah tidak tercapai.

Dalam hal ini penguatan kapasitas melakukan analisa kritis hingga pengembangan metode kerja menjadi sangat penting. Pengalaman UU PKDRT menunjukkan bahwa gerakan feminis menuai hasil ketika ia bisa mempengaruhi dan bergandeng tangan dengan gerakan perempuan meskipun ia tidak mendapat sokongan dari gerakan sosial lainnya. Dalam hal ini maka kolaborasi gerakan feminis dengan gerakan islam menjadi efektif jika dapat menemukan titik pijak bersama.

Pengalaman dalam Penolakan UU Pornografi merupakan sebuah refleksi dimana gerakan feminis tidak bisa bergandeng tangan dengan gerakan perempuan karena adanya perbedaan cara pandang sementara di sisi lain ia menggandeng gerakan sosial lainnya. Hal ini menjadi dilema kelompok feminis. Menurunkan tuntutan kesetaraan disatu sisi bisa jadi dianggap „kurang feminis, sementara disisi lain, dalam konteks membangun gerakan yang lebih luas, ada kompromi-kompromi yang perlu dilakukan. Yang menjadi masalah adalah kompromi itu bisa jadi lagi-lagi mengorbankan kelompok yang sudah minoritas.

Kedua; tantangan eksternal; Tantangan eksternal ini selain dari politisasi agama yang menguat yang membawa isu moralitas seperti dalam UU Pornografi, agaknya tantangan lain tidak jauh berbeda dengan hasil yang telah ditemukan dalam penelitian lalu dan tidak ada juga perkembangan pemikiran bagaimana menghadapinya; yakni adanya pengaruh lembaga donor dan pendekatan developmentalisme.

Politisasi agama yang menguat telah menjadi tantangan besar feminis. Tidak saja feminis berhadapan dengan kelompok besar lainnya, namun menjadikan kelompok feminis berhadap-hadapan dengan gerakan perempuan lainnya.

Walaupun berbagai tantangan baru dan lama dihadapi gerakan feminis, kolaborasi dan soliditas gerakan feminis dengan gerakan sosial lainnya telah memiliki benih untuk menguat. Dinamika menguat dan melemah dipengaruhi oleh pilihan isu yang diambil. Gerakan feminis perlu berefleksi tentang posisinya sebagai gerakan feminis dalam kondisi yang selalu berubah dan memikirkan strategi untuk menjadikan kolaborasi yang berkelanjutan dan berkesinambungan untuk adanya perubahan sosial yang lebih baik dan berkelanjutan.

 

Download this file

Additional Info

  • Publication Type: Working Paper
  • Topic: Gender analysis

Visitors Counter

01175852
Today
Yesterday
This Week
Last Week
This Month
Last Month
All days
43
207
1183
548305
4660
7868
1175852

Like SCN-CREST

Login